Rabu, 30 Juli 2014

Sepenggal Kisah dari Desa Adat Panglipuran

Namanya kempit dara. Dara disini berarti burung dara (dilafalkan dalam bahasa Bali), bukan dara yang merujuk pada perempuan. Kempit ? saya kurang yakin betul apa arti kempit dalam bahasa Bali.

Perkenalan saya dengan kempit dara terjadi saat kunjungan saya dan beberapa teman ke Desa Adat Panglipuran, Bangli, Bali Timur. Saat itu, ada yang menarik perhatian saya saat mengunjungi salah satu rumah warga di desa adat tersebut. Mata saya tertuju pada bangunan yang diletakkan di bagian depan rumah. Bangunan itu adalah dapur.

Dalam beberapa saat, mata saya tidak bisa lepas dari bangunan dapur rumah yang susunan massanya memanjang ke belakang. Apa yang menarik? Atapnya. Atapnya diselimuti dengan sirap bambu. Semakin berumur, semakin menawanlah atap ini dengan tambahan lumut di beberapa sudutnya. Ditambah lagi dengan bubungan atap dan grantang (bagian ujung atap yang seakan 'ditendang') yang lebih tebal dari bagian atap lain. Makin menawanlah atap dapur ini. 

atap sirap bambu panglipuran
dapur desa adat panglipuran

Tidak berhenti sampai di situ, masih ada bagian atap yang membuat atap dapur ini semakin unik. Itulah kempit dara, bagian samping atap yang menonjol. Sebuah detil kecil yang membuat perbedaan besar dari segi proporsi dan estetika yang sekaligus memberi kekhasan pada arsitektur rumah Panglipuran.

Keberadaannya di bagian samping membuat atap ini seakan mempunyai sayap. Di saat yang bersamaan, di belakang kempit dara, biasanya dipakai burung dara untuk bertengger. Saya tidak tahu pasti, mana dari dua hal tersebut yang menjadikan detil menawan ini disebut kempit dara. Namun, satu yang pasti bagi saya, keberadaan kempit dara selain fungsional namun juga mengangkat nilai estetika bangunan dapur. Bangunan atau area dapur yang biasa kita sembunyikan keberadaanya, justru menjadi ujung tombak pertunjukkan estetika bagi arsitektur tradisional Panglipuran. Salut !

maket model dapur panglipuran
tampak maket model dapur panglipuran

Selasa, 29 April 2014

Fenomena 'Coke Bottle'

Sudah lama saya menantikan video klip 'Coke Bottle'. Penasaran dengan video klip Agnez Mo yang katanya mengguncang jagad MTV di negeri Paman Sam itu. Saya bukan penggemar fanatik Agnez Mo, tapi membayangkan kualitas suara dan koreografi Agnez Mo membuat saya bersemangat menjelajah dunia youtube. 

Tapi nyatanya, saya kecewa berat, terheran-heran. Jika boleh berpendapat, rasanya tidak ada Agnez Mo di lagu dan video itu. Apakah demi go international, identitas diri harus ditanggalkan dan menggantinya dengan tren yang berkembang di negeri orang?

Lalu, saya tergelitik untuk mengutak-atik frasa 'Agnez Mo go international'. Dengan kasus yang sama, bagaimana jadinya kalau kata Agnez Mo digantikan dengan 'orang Indonesia' atau 'arsitektur Indonesia' atau 'fashion Indonesia' atau masih banyak lagi.   

Bagaimanapun juga, saya tidak bermaksud menghakimi apa yang dipilih oleh Agnez Mo karena saya hanya melihat dari salah satu perspektif. Perspektif ke-nusantaraan. 

Jika boleh berpendapat, di bidang apapun akan lebih bermakna jika memilih go international dengan rasa Indonesia. Nusantara memiliki beragam potensi keberagaman kultur, budaya, seni dan nilai yang layak untuk terus dikembangkan. Justru dengan keunikan identitas yang tidak dimiliki bangsa lain inilah yang akan menjadi daya tarik manusia Indonesia. 
 
Nusantara bagaikan baju dan sikap yang akan selalu merepresentasikan manusia Indonesia. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Baju tanpa sikap hanya akan menyisakan tampilan visual tanpa menampilkan jiwa nusantara. Sikap tanpa baju hanya akan memberi kesan dangkal dan terlupakan karena tampilan visual adalah yang paling mudah direkam. Maka dari itu, dalam setiap pilihan dan langkah, baju dan sikap hendaklah tetap melekat sebagai identitas diri. 

Memang, sering kali kita merasa rumput tetangga nampak lebih hijau. Bisa jadi memang seperti itu, karena kita tidak pernah merawat rumput kita sendiri. Tambahkan saja 'sedikit' kepekaan dan kebanggaan akan nusantara ini. Karena meskipun hanya 'sedikit' namun jika dilakukan oleh banyak orang, maka seyogyanya nusantara dan bangsa ini akan tetap menjadi bangsa yang besar.

Seandainya malam ini masih punya tenaga untuk keluar dari kamar kos, saya akan pilih brem Bali ketimbang coke bottle untuk menemani melanjutkan lanturan berikutnya. hmm.



Senin, 28 April 2014

Mendesain dengan Maket

Jika mencermati judul entri, rasanya tulisan ini akan berisi langkah-langkah panduan mendesain dengan maket. Bukan itu yang saya maksud, karena memang saya bukan ahlinya mendesain dengan maket. Saya hanya ingin berbagi tentang hal yang baru saja saya sadari.

Harus saya akui, ternyata selama proses belajar di bangku kuliah, desain yang saya buat ternyata berbanding lurus dengan kemampuan saya mengutak-atik 3D model lewat software. Semakin mahir dalam 3D model, maka semakin berani pula saya membuat desain yang lebih kompleks. Meskipun punya ide yang cukup 'wow' tapi akhirnya urung dilanjutkan karena ketidakmampuan membuat 3D model. 

Saya selalu berkata dalam hati 'saya tidak mau diperbudak oleh komputer !'. Ternyata secara tidak sadar yang saya lakukan malah sebaliknya. Betapa konyol yang sudah saya lakukan. hahahaha.

Setahun sudah saya lulus dari bangku kuliah dan selama setahun itu pula banyak pengalaman yang selalu layak untuk disimpan. Selama 3 bulan membantu Pak Pradipto (Dosen Arsitektur UGM dan salah satu arsitek yang patut 'digugu lan ditiru') dan kini bekerja untuk Effan Adhiwira di EFF Studio, membuka keberanian untuk lebih mengeksplorasi desain. Rasanya, pagar pembatas ide dan imajinasi di kepala saya sudah tercabut sedikit demi sedikit. 

Lantas, apa yang membedakan metode beliau berdua dalam mendesain sehingga bisa memberi keberanian untuk lebih mengekplorasi desain? Jawabannya, mendesain dengan maket.

Mendesain dengan maket, memberi kebebasan saat akan bereksplorasi dengan bentuk. Lebih jauh lagi, maket bisa banyak membantu dalam membangun rasa akan skala dan proporsi. Lebih mudahnya, akan saya contohkan dengan proses desain untuk salah satu sayembara desain rumah budaya.

Setelah ide dituangkan dalam sketsa kasar, ide kemudian ditransformasikan dalam media maket. Proses ini dipakai untuk bereksplorasi dengan bentuk,proporsi dan skala. Dengan maket, bisa dengan mudah mengganti, mengurangi, menambah. Hanya perlu ditambahkan sedikit 'niat' untuk bermain dengan maket. Saya tidak bisa membayangkan kalau saya masih menggunakan 3D model untuk bereksplorasi, setengah mati rasanya.

 
Setelah puas bermain dengan maket kecil ini, proses dilanjutkan dengan pembuatan maket struktur dengan skala yang lebih besar. Seperti ini hasilnya.



Pembuatan 3D model tidak dapat dihindarkan. Namun yang membedakan adalah prosesnya. 3D model baru dibuat berdasarkan maket yang ada. Maket diukur dan diterjemahkan ke dalam 3D model. Hasilnya, baru kali ini rasanya puas sekali dengan proses desain yang saya kerjakan.