Selasa, 26 Februari 2013

Panggung Kawungan

50 besar Rumah Tropis Indonesia ARBBI 2012
Tim S.A.M : Tobias Kea Suksmalana, Roby Aria Samudra, Michael Priambada

Arsitektur tradisional telah mati dan setiap generasi memiliki hak untuk berbudaya. Sehingga tidak ada relevansinya jika mendesain di zaman sekarang namun masih terpaku pada bentuk-bentuk tradisional. Yang perlu diwarisi dan dilestarikan adalah nilai-nilai tradisional yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk arsitektur tradisional.

Konsep besar desain terbentuk dengan mengadopsi intisari unsur-unsur lokal dengan ruang lingkup budaya di Indonesia. Aplikasinya adalah dengan mencoba mentransformasikan rumah tropis tradisional ke arah relevansi zaman yang kontemporer.

 Perspektif

Beberapa aspek kenusantaraan yang dipetik adalah sebagai berikut :
  1. Kemiringan atap yang curam dalam beberapa rumah adat di Sumatera, hingga Papua untuk menanggapi curah hujan tinggi di Indonesia.
  2. Orientasi rumah Joglo di Yogyakarta yang menghadap ke Selatan merupakan ekspresi adat setempat dalam menanggapi iklim tropis Indonesia dengan membuka arah pendopo pada arah dimana angin kering non-uap air yang berhembus dari selatan ke utara.
  3. Prinsip rumah panggung dengan maksud memberikan ruang peresapan air yang lebih juga coba diangkat sebagai solusi dari masalah koefisien dasar bangunan dan kontrol udara untuk ruang di atasnya menggunakan air kolam.
  4. Kontekstualitas dengan site terpilih juga menjadi satu upaya dalam pencarian jati diri rumah tropis Indonesia, yaitu ‘batik Kawung’ Jogja sebagai elemen detail arsitekturalnya.

 Perspektif interior

Well, bagus atau tidaknya hasil akhir sangatlah subyekif. Tapi bukan itu yang terpenting. Di tengah era globalisasi dan serangan style yang konon katanya disebut 'minimalis modern tropis dan segala tetek bengeknya', ini hanyalah satu usaha kecil dari usaha-usaha lain dalam pencarian jati diri arsitektur Indonesia  masa kini. Ada yang tidak setuju ? Silahkan saja, ini jaman serba bebas kok.

Minggu, 24 Februari 2013

Rumah Karangnongko



Tim S.A.M : Tobias Kea Suksmalana, Riesky Bayu Suryadi, Michael Priambada

Rumah ini terletak di daerah Karangnongko, Sleman, Yogyakarta. Proyek ini adalah proyek kesekian yang kami desain. Proses desain berlangsung cukup lama, lagi-lagi disebabkan oleh pencarian titik temu antara keinginan klien dengan kami sebagai perancang. 
              
Sketsa awal

Ide awal muncul dari hasil ngobrol dengan klien. Yang kami tangkap pertama kali, desain yang diinginkan adalah desain yang sederhana, menggunakan material alam dan ngga 'neko-neko'. Namun, setelah sketsa awal kami berikan, lagi-lagi kami belum tepat menafsirkan apa yang diinginkan klien. Proses pun berlanjut sampai beberapa kali revisi desain.



  Revisi 1

Sampai pada tahap ini, kami masih bisa mengeksplorasi ide desain sesuai ideologi kami. Namun, disaat kami mengira desain telah hampir disetujui, klien berubah pikiran dan menginginkan desain yang jauh berbeda dari yang telah dirancang. Awalnya kami keberatan untuk mengganti desain karena proses revisi telah terjadi beberapa kali, ditambah lagi desain yang diinginkan klien tidak sesuai dengan ideologi kami sebagai perancang. Namun, setelah melalui pertentangan batin yang cukup rumit, kami menyetujui untuk mengganti desain kami. Berikut desain final yang telah disetujui.

Dari proses desain ini, kami menyadari satu hal lain tentang 'nilai' berarsitektur yang tidak dapat dipelajari di bangku kuliah. Ada kalanya yang terpenting dalam berarsitektur bukanlah sekedar mewujudkan ideologi perancang, lebih dari itu, berarsitektur bisa menjadi sarana untuk memberi kebahagiaan bagi klien dengan cara mewujudkan rumah impiannya dalam bentuk desain.

"Arsitek itu ibarat bidan yang
membantu persalinan seorang ibu.
Sang anak tetaplah milik 
sang ibu, bukan bidan."
-Eko Prawoto-

Kamis, 14 Februari 2013

Mimpi pagi buta


Suatu ketika, saat subuh pun masih enggan menggema, saya harus terbangun dari istirahat malam. Mata ini enggan terpejam kembali. Di keheningan pagi yang bersih dari bisingnya kendaraan bermotor, angan ini mulai bergerilya. Mimpi, ide, gagasan hingga keprihatinan mengalir tanpa henti. Di saat hening inilah, saya dapat bertemu dengan murninya pikiran saya. Tidak ada intervensi, tidak ada larangan, hanya ada pikiran saya yang merdeka ! 

Lahir 22 Juli 1990, tepatnya di kota Yogyakarta yang konon berhati nyaman. Selama lebih dari 22 tahun menetap di Jogja, berturut-turut mengenyam pendidikan di SD Kanisius Kalasan, SMP Pangudi Luhur 1, SMA Kolese De Britto, dan terakhir Jurusan Arsitektur UGM angkatan 2008. Kini mulai terjun ke dunia arsitektur (yang sebenarnya) bersama S.A.M - Studio Arsitektur Mandala, sekumpulan anak muda yang haus pengalaman berkarya.

Saya bukan siapa-siapa, hanya manusia yang mencoba menjadi manusia seutuhnya.
Salam kenal, mari berbagi.

tobias.kea@gmail.com
tobias_kea@studio-mandala.com

Landmark of My Mind


Pertengahan Agustus 2012,

Di belakang rumah, masih ada kebun yang cukup luas. Masih ada banyak pohon yang lumayan rindang. Tapi, ada satu pohon mangga yang sudah ditebang karena ngga pernah berbuah lagi. Akibatnya, di sekitaran pohon itu rasanya jadi lebih panas dan seakan terkesan paling gersang. 

Dari sini, mulai kepikiran untuk membuat satu instalasi di sekitaran bekas pohon mangga tadi. Sekalian ngisi waktu liburan semester, mulai lah bikin maket modelnya. Setelah maket jadi, kok mulai bimbang, mau dibuat beneran atau ngga ya. Malas rasanya. hehe. Tapi akhirnya, dengan modal nekat, instalasi nya terbangun juga.
sketsa desain instalasi

Hidup dari yang Mati
Seperti ini konsepnya. Segala sesuatu yang kasat mata pasti suatu saat akan lenyap atau mati. Yang mati tidak akan pernah bisa dihidupkan kembali jasadnya. Namun, bisakah kita membangun kehidupan baru dari yang sudah mati? Ya, bisa. Dengan membawa kembali spiritnya, maka kehidupan yang baru akan tetap selaras dengan yang telah mati.
Bermula dari sebuah pohon mangga yang telah mati dan tinggal batangnya saja, timbul pemikiran untuk menghidupkan kembali‘daun’yang semestinya melekat dalam struktur sebuah pohon. Material bambu digunakan sebagai material utama desain instalasi. Pohon bambu sebagai pusatnya dan bambu disusun mengelilinginya. Untuk perkuatan, bambu ditarik dengan tali ke arah bekas pohon mangga. Awalnya bambu didesain mengelilingi pohon sepanjang 360 derajat. Namun, karena keterbatasan dana, tenaga dan lahan (dipakai sirkulasi mobil), maka desain hanya diwujudkan sebagian. hehe, maklum.
Pada akhirnya, instalasi ini akan diserahkan kepada kuasa alam sebagai media tumbuh kembangnya tanaman produktif lain sebagai perwujudan spirit ‘daun’ yang akan selalu menaungi ruang di bawahnya.

material bambu-bagian dari alam

Pertengahan Februari 2013,  

Setelah beberapa bulan instalasi ini berdiri, secara sadar atau tidak sadar, instalasi ini telah menjadi pusat penghijauan area sekitarnya. Mulai dari tanaman pot hingga rambat, menghiasi area di sekitar instalasi. Bahkan, kini wajah instalasi tersebut mulai samar dan tergantikan oleh anggrek yang bermekaran atau pare yang mulai sering berbuah. Hmm, ada yang mau pare gratis ? silahkan petik di belakang rumah saya. Hehehe.  


'daun' yang mulai tumbuh kembali