Selasa, 30 Juli 2013

MENCARI MAKNA (BER)ARSITEKTUR



Sore itu, saya terhanyut dalam lamunan yang cukup panjang. Semuanya berawal dari sebuah proyek rumah yang desainnya tak kunjung tercapai kata sepakat dengan klien. Terdapat perbedaan prinsip yang sangat mendasar dalam desain. Keinginan klien berbenturan dengan ideologi saya.
Pihak klien sangat menginginkan desain rumah minimalis yang kini banyak menjamur di Indonesia, sedangkan saya bisa dikatakan sangat anti dengan desain rumah minimalis yang dimaksud klien. Aspek ini sangat berpengaruh selama proses perancangan. Saya selalu mencoba menawarkan alternatif arsitektur yang lain, yang bagi saya jauh lebih baik daripada rumah minimalis baik dari segi bentuk ataupun performa bangunan. Hasilnya, tidak ada kata sepakat diantara kami.
Dalam lamunan sore itu, pikiran saya mulai melayang-layang, mulai meraba dan merangkai berbagai hal yang telah saya alami dalam hidup ini. Lamunan itu pun sampai pada pertanyaan : ‘apa sih makna sebenarnya dalam berarsitektur ? Apa selanjutnya, jika saya dapat merancang bangunan sesuai dengan ideologi saya ? Akankah membawa ke kehidupan yang lebih baik ? ‘
Saya kemudian teringat dengan quote dari Raul Renanda dalam bukunya 99 untuk arsitek. Sebuah proyek dikatakan berhasil jika minimal salah satu dari klien atau si arsitek merasa puas dengan hasil karya yang dihasilkan. Quote ini sangat melekat dalam pikiran saya karena justru pada awalnya saya sangat tidak setuju. Saat itu, bagi saya sebuah proyek baru bisa dikatakan berhasil jika keduanya baik klien ataupun arsitek dapat merasa puas. Quote lain yang kemudian saya ingat adalah quote dari Pak Eko Prawoto. Arsitek itu diibaratkan sebagai seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan anaknya. Si anak akan tetap milik sang ibu, bukan milik sang bidan.
Dari situ, saya mencoba menarik sebuah benang lurus dari lamunan saya ke permasalahan desain yang sedang saya alami. Mungkin ada kalanya seorang arsitek harus dapat mengalahkan egonya demi kepentingan dan kepuasan klien. Apa salahnya, jika tetap mendesain rumah sesuai dengan yang di inginkan klien ? Toh jika klien puas, maka berarti saya juga dapat memberikan kebahagiaan bagi orang lain lewat arsitektur. Bisa jadi desain yang klien inginkan adalah impian terbesar  dalam hidupnya, meskipun impian itu tidak sejalan dengan ideologi saya.
Ada sebuah perspektif lain dalam memandang arsitektur sebagai jalan hidup. Arsitektur tidak hanya berbicara lewat bentuk dan tampilan luarnya, namun ada nilai yang lebih luhur terkandung di dalamnya. Ya, arsitektur hanyalah salah satu sarana bagi saya untuk  memberikan kebahagiaan bagi orang lain, membantu orang lain memecahkan masalahnya. Jika awalnya saya ingin membatalkan kerjasama ini karena tidak sesuai dengan ideologi saya, kini yang terjadi malah sebaliknya. Saya justru ingin mencoba melanjutkan kerjasama ini sesuai dengan keinginan klien. Mencoba mengalahkan ego saya dan mencoba untuk menjalin hubungan baik dengan klien. Mungkin terdengar klise, namun apa salahnya mencoba menjadikan arsitektur sebagai sarana untuk berbagi kebahagiaan, karena mungkin saat klien bahagia di saat itulah saya juga dapat merasakan kebahagiaan.

Jumat, 19 Juli 2013

Merawat, Menghidupi Mimpi Lewat Bambu



Siapa tidak tahu bambu ? Saya yakin seluruh nusantara tahu apa itu bambu, karena pada dasarnya bambu selalu ada di tiap jengkal tanah air ini. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita mengenal bambu? Ya, bambu identik dengan material murah yang murahan dan tidak awet. Persepsi inilah yang kini melekat di sebagian besar masyarakat kita.
Di sisi lain, kini material bambu mulai diminati beberapa kalangan praktisi arsitektur dan interior. Seiring berkembangnya teknologi, maka ada banyak kesempatan dan teknologi pengawetan (yang kini mulai bermunculan obat awetan herbal) dan finishing bambu.
Sebagai lulusan jurusan arsitektur, saya ingin punya spesialisasi. Pilihan saya jatuh pada bambu. Kenapa bambu ? Karena bagi saya, bambu sangat luar biasa. Sifatnya lentur, bisa menyentuh seluruh golongan manusia dari yang katanya paling elit sampai yang paling bawah. Jika bicara permasalahan sosial, bambu bisa jadi solusi khususnya saat terjadi bencana. Cepat, mudah ditemui dan tentu saja murah menjadi alasannya. Lain lagi tentang permasalahan green, bambu bisa menjadi alternatif pengganti kayu yang keberadaannya banyak dipenuhi lewat illegal logging. Terakhir, tentang permasalahan tren ke depan. Dengan keunikan dan estetika yang bisa dibentuk lewat bambu, saya yakin beberapa tahun ke depan pasar bangunan atau furnitur bambu akan meningkat. Hanya masalah waktu dan pemahaman yang tepat akan bambu yang akan menjadikan khalayak umum tidak ragu menggunakan bambu.  
Cukup sudah berfilosofinya, semuanya hanya akan tinggal mimpi jika tidak segera diperjuangkan. Mimpi ini harus dirawat, caranya dengan terus berlatih dan bersahabat dengan bambu. Desain ini saya beri judul ‘Exhibition Hall in My Mind’ karena memang desain ini baru terbangun di angan saya. Desainnya terinspirasi dari bayak karya arsitektur yang telah terbangun tapi bukan dengan material bambu. Desainnya yang cukup tertutup dimaksudkan agar pencahayaan yang dramatis dapat diwujudkan lewat desain lorong skylight.

Konsep desainnya sederhana, lewat exhibition hall yang cukup tertutup, tempat ini ingin menyampaikan bahwa seni yang keindahan tidak terbatas itu ternyata tetap memiliki batas. Hanya keindahan dari Tuhan yang tanpa batas yang dimunculkan lewat turunnya cahaya dari atas. Saat saya membayangkan berada di tengah-tengah ruangan tersebut dan menengadah ke atas, rasanya tidak hanya keindahan yang saya rasakan tapi juga kesejukan dan kedamaian.


Ada satu kekhawatiran saya tentang material yang satu ini. Jika suatu saat ada yang berpendapat : “mas, saya pengen desain yang permanen. Kalo dengan bambu kan cuma sementara saja, umurnya ngga lama.” Kelak saya harap dapat dengan berani menjawabnya seperti ini “bukankah memang semua yang diciptakan manusia itu sifatnya hanya sementara? Kita saja yang ciptaan Tuhan hanya hidup sementara kok, apalagi yang buatan manusia. Bangunan beton pun punya usia, begitu juga dengan bambu. Toh, jika di desain dan dirawat dengan benar, bangunan bambu dapat bertahan lama. Lihat saja karya nenek moyang kita. Kalau mencari yang permanen, bukankah yang abadi dari manusia adalah jasanya dan semangat yang akan terus dikenang dan dihidupi generasi penerusnya begitu juga dengan karya arsitektural akan tetap terkenang lewat pengaruh dan dampak positifnya.”
Bermimpi memang menyenangkan, tapi saya tahu ini semua tidak mudah dilakukan yang di sisi lain berarti tidak mustahil untuk diwujudkan.