Sore itu, saya terhanyut
dalam lamunan yang cukup panjang. Semuanya berawal dari sebuah proyek rumah
yang desainnya tak kunjung tercapai kata sepakat dengan klien. Terdapat
perbedaan prinsip yang sangat mendasar dalam desain. Keinginan klien
berbenturan dengan ideologi saya.
Pihak klien sangat
menginginkan desain rumah minimalis yang kini banyak menjamur di Indonesia,
sedangkan saya bisa dikatakan sangat anti dengan desain rumah minimalis yang
dimaksud klien. Aspek ini sangat berpengaruh selama proses perancangan. Saya
selalu mencoba menawarkan alternatif arsitektur yang lain, yang bagi saya jauh
lebih baik daripada rumah minimalis baik dari segi bentuk ataupun performa
bangunan. Hasilnya, tidak ada kata sepakat diantara kami.
Dalam lamunan sore itu,
pikiran saya mulai melayang-layang, mulai meraba dan merangkai berbagai hal
yang telah saya alami dalam hidup ini. Lamunan itu pun sampai pada pertanyaan :
‘apa sih makna sebenarnya dalam berarsitektur ? Apa selanjutnya, jika saya dapat
merancang bangunan sesuai dengan ideologi saya ? Akankah membawa ke kehidupan
yang lebih baik ? ‘
Saya kemudian teringat dengan quote dari Raul
Renanda dalam bukunya 99 untuk arsitek. Sebuah proyek dikatakan berhasil jika
minimal salah satu dari klien atau si arsitek merasa puas dengan hasil karya
yang dihasilkan. Quote ini sangat melekat dalam pikiran saya karena justru pada
awalnya saya sangat tidak setuju. Saat itu, bagi saya sebuah proyek baru bisa
dikatakan berhasil jika keduanya baik klien ataupun arsitek dapat merasa puas.
Quote lain yang kemudian saya ingat adalah quote dari Pak Eko Prawoto. Arsitek
itu diibaratkan sebagai seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan
anaknya. Si anak akan tetap milik sang ibu, bukan milik sang bidan.
Dari situ, saya mencoba
menarik sebuah benang lurus dari lamunan saya ke permasalahan desain yang
sedang saya alami. Mungkin ada kalanya seorang arsitek harus dapat mengalahkan
egonya demi kepentingan dan kepuasan klien. Apa salahnya, jika tetap mendesain
rumah sesuai dengan yang di inginkan klien ? Toh jika klien puas, maka berarti
saya juga dapat memberikan kebahagiaan bagi orang lain lewat arsitektur. Bisa
jadi desain yang klien inginkan adalah impian terbesar dalam hidupnya, meskipun impian itu tidak sejalan
dengan ideologi saya.
Ada sebuah perspektif lain
dalam memandang arsitektur sebagai jalan hidup. Arsitektur tidak hanya
berbicara lewat bentuk dan tampilan luarnya, namun ada nilai yang lebih luhur
terkandung di dalamnya. Ya, arsitektur hanyalah salah satu sarana bagi saya
untuk memberikan kebahagiaan bagi orang
lain, membantu orang lain memecahkan masalahnya. Jika awalnya saya ingin
membatalkan kerjasama ini karena tidak sesuai dengan ideologi saya, kini yang
terjadi malah sebaliknya. Saya justru ingin mencoba melanjutkan kerjasama ini
sesuai dengan keinginan klien. Mencoba mengalahkan ego saya dan mencoba untuk
menjalin hubungan baik dengan klien. Mungkin terdengar klise, namun apa
salahnya mencoba menjadikan arsitektur sebagai sarana untuk berbagi
kebahagiaan, karena mungkin saat klien bahagia di saat itulah saya juga dapat
merasakan kebahagiaan.
:)
BalasHapus