Hiruk pikuk Yogyakarta sebagai
kota budaya dengan Kraton Yogyakarta sebagai simbolnya tidak pernah surut.
Terakhir, Yogyakarta disibukkan dengan pernikahan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu,
putri keempat Sultan Hamengkubuwono X. Namun nampaknya keriuhan Yogyakarta
tidak berhenti sampai di area kraton saja. Jika kita membuka mata lebih lebar,
samar-samar terlihat aksi beberapa komunitas masyarakat dalam mengkritisi arah
pembangunan Yogyakarta.
Beberapa
waktu lalu, sekelompok seniman dan musisi menggelar aksinya dalam vox populi vox polis (swara warga swara
kota). Aksi yang merupakan bagian dari Festival Seni Mencari Haryadi ini
digelar di depan rumah Dinas Walikota Kota Yogyakarta dan diikuti oleh puluhan
warga dari beragam profesi. Salah satu isu yang diangkat dalam aksi ini adalah kritik
atas menjamurnya pembangunan hotel dan mall di Yogyakarta.
Sebelumnya, kritik juga
dilakukan oleh sekelompok seniman jalanan dengan muralnya ‘JOGJA ORA DIDOL’
(Jogja tidak dijual). Muhammad Arif, sang seniman, harus ditangkap satpol PP
karena aksinya tersebut. Bahkan, seorang hacker
tak mau ketinggalan dalam menyuarakan kegelisahannya. Salah satu homepage situs real estate di Yogyakarta diubah menjadi halaman tempat menuangkan
curahan hatinya akan arah pembangunan Yogyakarta.
Tidak heran jika gelombang
kritik dari warga Yogyakarta semakin gencar. Jika melihat ke belakang, dalam
setiap upaya pembangunan mall di Yogyakarta, selalu ada upaya resistensi dari
warga sekitar dan komunitas di Yogyakarta. Salah satunya adalah pembangunan
Ambarukmo Plaza yang menggusur SD Ambarukmo dan merusak situs bersejarah Gandok
Tengen. Namun saat itu, upaya penolakan tidak berhasil dan pembangunan tetap
dilanjutkan.
Alasan ekonomi selalu menjadi
senjata utama dalam meloloskan perijinan pembangunan mall. Pembangunan mall
diklaim dapat meningkatkan perekonomian Yogyakarta. Di satu sisi, pembangunan
mall tentu akan menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Namun di sisi lain, jika melihat lebih cermat,
perputaran uang di tingkat mall jelas hanya berkutat di area kelas menengah ke
atas. Retail-retail berskala nasional maupun internasional siap bersaing
memuaskan pembeli dengan label lifestlyle
nya masing-masing.
Sebuah ironi, karena justru
pasar tradisional yang menjadi denyut nadi masyarakat Yogyakarta setiap harinya
tak kunjung tersentuh program revitalisasi secara menyeluruh. Program
revitalisasi yang telah dilakukan baru menyentuh tahap renovasi dan aspek fisik
saja. Perbaikan sistem infrastuktur, sistem pasar hingga aspek kebersihan belum
tersentuh program ini. Ditambah lagi dengan pembangunan mall yang hadir dengan
segala kenyamanan, kemewahan dan kemudahannya. Bukan tidak mungkin keberadaan
pasar tradisional akan semakin terhimpit.
Lantas, untuk meningkatkan perekonomian siapakah pembangunan mall
besar-besaran di Yogyakarta?
Yogyakarta merupakan rumah bagi
para penggiat seni dan budaya. Mulai dari penggiat seni tradisional, lukis,
musik, teater, seni kontemporer hingga
komunitas kreatif, hidup di kota ini. Selama ini, kegiatan seni dan budaya
hanya terfokus di area titik nol kilometer dan kompleks Taman Budaya. Sulit
rasanya, menemukan alternatif ruang terbuka publik lain yang dapat dimanfaatkan
untuk menunjang aktivitas komunitas seni dan budaya.
Bisa dibayangkan, begitu
indahnya jika satu saja lahan yang kini akan atau telah dibangun mall diganti
peruntukkannya untuk ruang terbuka publik. Selain menambah area hijau kota,
ruang terbuka publik juga berpotensi menjadi tempat bertemunya berbagai
komunitas dari semua kalangan. Berbagai aktivitas warga kota mulai dari berolahraga,
berpentas seni budaya, atau sekedar menikmati kuliner khas Yogyakarta sangat
mungkin terjadi.
Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa kebutuhan akan budaya hidup modern semakin besar. Namun, jika sampai
terlena, bisa jadi generasi muda mendatang akan semakin lupa akan akar
budayanya. Jangan heran jika (kelak) generasi muda Yogyakarta lebih memilih
kongkow dan hura-hura ketimbang menggeluti seni dan budaya aslinya. Lantas,
untuk kepentingan siapakah pembangunan mall besar-besaran lengkap dengan label modern lifestyle – nya ?
Masih banyak beragam
permasalahan pelik yang berpotensi muncul dengan bertambahnya pembangunan mall
ini. Salah satunya, permasalahan kemacetan yang siap tersebar ke setiap sudut
kota. Berapa banyakkah bangunan komersial seperti mall yang siap menyediakan
lahan parkir yang layak dan asrama bagi karyawannya ? Karena pada kenyataannya,
sumber terbesar kemacetan di area mall terjadi karena tumbuhnya parkir liar dan
bertambahnya arus urbanisasi.
Tak akan selesai rasanya jika
terus mengurai permasalahan pembangunan ini. Saatnya membuat keputusan, ingin
diam saja menjadi penonton atau bertindak meskipun kecil pengaruhnya. Semoga
Yogyakarta selalu berhati nyaman. Berhati nyaman bagi warganya dan bagi
masyarakat Indonesia.