Minggu, 03 November 2013

JOGJA UNTUK SIAPA ?



Hiruk pikuk Yogyakarta sebagai kota budaya dengan Kraton Yogyakarta sebagai simbolnya tidak pernah surut. Terakhir, Yogyakarta disibukkan dengan pernikahan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri keempat Sultan Hamengkubuwono X. Namun nampaknya keriuhan Yogyakarta tidak berhenti sampai di area kraton saja. Jika kita membuka mata lebih lebar, samar-samar terlihat aksi beberapa komunitas masyarakat dalam mengkritisi arah pembangunan Yogyakarta.
Beberapa waktu lalu, sekelompok seniman dan musisi menggelar aksinya dalam vox populi vox polis (swara warga swara kota). Aksi yang merupakan bagian dari Festival Seni Mencari Haryadi ini digelar di depan rumah Dinas Walikota Kota Yogyakarta dan diikuti oleh puluhan warga dari beragam profesi. Salah satu isu yang diangkat dalam aksi ini adalah kritik atas menjamurnya pembangunan hotel dan mall di Yogyakarta.

Sebelumnya, kritik juga dilakukan oleh sekelompok seniman jalanan dengan muralnya ‘JOGJA ORA DIDOL’ (Jogja tidak dijual). Muhammad Arif, sang seniman, harus ditangkap satpol PP karena aksinya tersebut. Bahkan, seorang hacker tak mau ketinggalan dalam menyuarakan kegelisahannya. Salah satu homepage situs real estate di Yogyakarta diubah menjadi halaman tempat menuangkan curahan hatinya akan arah pembangunan Yogyakarta.
Tidak heran jika gelombang kritik dari warga Yogyakarta semakin gencar. Jika melihat ke belakang, dalam setiap upaya pembangunan mall di Yogyakarta, selalu ada upaya resistensi dari warga sekitar dan komunitas di Yogyakarta. Salah satunya adalah pembangunan Ambarukmo Plaza yang menggusur SD Ambarukmo dan merusak situs bersejarah Gandok Tengen. Namun saat itu, upaya penolakan tidak berhasil dan pembangunan tetap dilanjutkan.
Alasan ekonomi selalu menjadi senjata utama dalam meloloskan perijinan pembangunan mall. Pembangunan mall diklaim dapat meningkatkan perekonomian Yogyakarta. Di satu sisi, pembangunan mall tentu akan menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Namun  di sisi lain, jika melihat lebih cermat, perputaran uang di tingkat mall jelas hanya berkutat di area kelas menengah ke atas. Retail-retail berskala nasional maupun internasional siap bersaing memuaskan pembeli dengan label lifestlyle nya masing-masing.
Sebuah ironi, karena justru pasar tradisional yang menjadi denyut nadi masyarakat Yogyakarta setiap harinya tak kunjung tersentuh program revitalisasi secara menyeluruh. Program revitalisasi yang telah dilakukan baru menyentuh tahap renovasi dan aspek fisik saja. Perbaikan sistem infrastuktur, sistem pasar hingga aspek kebersihan belum tersentuh program ini. Ditambah lagi dengan pembangunan mall yang hadir dengan segala kenyamanan, kemewahan dan kemudahannya. Bukan tidak mungkin keberadaan pasar tradisional akan semakin terhimpit.  Lantas, untuk meningkatkan perekonomian siapakah pembangunan mall besar-besaran di Yogyakarta?  
Yogyakarta merupakan rumah bagi para penggiat seni dan budaya. Mulai dari penggiat seni tradisional, lukis, musik, teater, seni kontemporer  hingga komunitas kreatif, hidup di kota ini. Selama ini, kegiatan seni dan budaya hanya terfokus di area titik nol kilometer dan kompleks Taman Budaya. Sulit rasanya, menemukan alternatif ruang terbuka publik lain yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang aktivitas komunitas seni dan budaya.
Bisa dibayangkan, begitu indahnya jika satu saja lahan yang kini akan atau telah dibangun mall diganti peruntukkannya untuk ruang terbuka publik. Selain menambah area hijau kota, ruang terbuka publik juga berpotensi menjadi tempat bertemunya berbagai komunitas dari semua kalangan. Berbagai aktivitas warga kota mulai dari berolahraga, berpentas seni budaya, atau sekedar menikmati kuliner khas Yogyakarta sangat mungkin terjadi.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan budaya hidup modern semakin besar. Namun, jika sampai terlena, bisa jadi generasi muda mendatang akan semakin lupa akan akar budayanya. Jangan heran jika (kelak) generasi muda Yogyakarta lebih memilih kongkow dan hura-hura ketimbang menggeluti seni dan budaya aslinya. Lantas, untuk kepentingan siapakah pembangunan mall besar-besaran lengkap dengan label modern lifestyle – nya ?
Masih banyak beragam permasalahan pelik yang berpotensi muncul dengan bertambahnya pembangunan mall ini. Salah satunya, permasalahan kemacetan yang siap tersebar ke setiap sudut kota. Berapa banyakkah bangunan komersial seperti mall yang siap menyediakan lahan parkir yang layak dan asrama bagi karyawannya ? Karena pada kenyataannya, sumber terbesar kemacetan di area mall terjadi karena tumbuhnya parkir liar dan bertambahnya arus urbanisasi.     
Tak akan selesai rasanya jika terus mengurai permasalahan pembangunan ini. Saatnya membuat keputusan, ingin diam saja menjadi penonton atau bertindak meskipun kecil pengaruhnya. Semoga Yogyakarta selalu berhati nyaman. Berhati nyaman bagi warganya dan bagi masyarakat Indonesia.

Kamis, 05 September 2013

Bali Tolak Reklamasi !

Gonjang ganjing rencana reklamasi teluk benoa yang masih dalam wilayah konservasi.....




Jumat, 16 Agustus 2013

Menanti Lahirnya Kembali Generasi 45

  
Siapkah kita menjadi generasi '10 pemuda' Soekarno ? Kita masing-masing punya jawabannya sendiri..
Dirgahayu Republik Indonesia !

Selasa, 30 Juli 2013

MENCARI MAKNA (BER)ARSITEKTUR



Sore itu, saya terhanyut dalam lamunan yang cukup panjang. Semuanya berawal dari sebuah proyek rumah yang desainnya tak kunjung tercapai kata sepakat dengan klien. Terdapat perbedaan prinsip yang sangat mendasar dalam desain. Keinginan klien berbenturan dengan ideologi saya.
Pihak klien sangat menginginkan desain rumah minimalis yang kini banyak menjamur di Indonesia, sedangkan saya bisa dikatakan sangat anti dengan desain rumah minimalis yang dimaksud klien. Aspek ini sangat berpengaruh selama proses perancangan. Saya selalu mencoba menawarkan alternatif arsitektur yang lain, yang bagi saya jauh lebih baik daripada rumah minimalis baik dari segi bentuk ataupun performa bangunan. Hasilnya, tidak ada kata sepakat diantara kami.
Dalam lamunan sore itu, pikiran saya mulai melayang-layang, mulai meraba dan merangkai berbagai hal yang telah saya alami dalam hidup ini. Lamunan itu pun sampai pada pertanyaan : ‘apa sih makna sebenarnya dalam berarsitektur ? Apa selanjutnya, jika saya dapat merancang bangunan sesuai dengan ideologi saya ? Akankah membawa ke kehidupan yang lebih baik ? ‘
Saya kemudian teringat dengan quote dari Raul Renanda dalam bukunya 99 untuk arsitek. Sebuah proyek dikatakan berhasil jika minimal salah satu dari klien atau si arsitek merasa puas dengan hasil karya yang dihasilkan. Quote ini sangat melekat dalam pikiran saya karena justru pada awalnya saya sangat tidak setuju. Saat itu, bagi saya sebuah proyek baru bisa dikatakan berhasil jika keduanya baik klien ataupun arsitek dapat merasa puas. Quote lain yang kemudian saya ingat adalah quote dari Pak Eko Prawoto. Arsitek itu diibaratkan sebagai seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan anaknya. Si anak akan tetap milik sang ibu, bukan milik sang bidan.
Dari situ, saya mencoba menarik sebuah benang lurus dari lamunan saya ke permasalahan desain yang sedang saya alami. Mungkin ada kalanya seorang arsitek harus dapat mengalahkan egonya demi kepentingan dan kepuasan klien. Apa salahnya, jika tetap mendesain rumah sesuai dengan yang di inginkan klien ? Toh jika klien puas, maka berarti saya juga dapat memberikan kebahagiaan bagi orang lain lewat arsitektur. Bisa jadi desain yang klien inginkan adalah impian terbesar  dalam hidupnya, meskipun impian itu tidak sejalan dengan ideologi saya.
Ada sebuah perspektif lain dalam memandang arsitektur sebagai jalan hidup. Arsitektur tidak hanya berbicara lewat bentuk dan tampilan luarnya, namun ada nilai yang lebih luhur terkandung di dalamnya. Ya, arsitektur hanyalah salah satu sarana bagi saya untuk  memberikan kebahagiaan bagi orang lain, membantu orang lain memecahkan masalahnya. Jika awalnya saya ingin membatalkan kerjasama ini karena tidak sesuai dengan ideologi saya, kini yang terjadi malah sebaliknya. Saya justru ingin mencoba melanjutkan kerjasama ini sesuai dengan keinginan klien. Mencoba mengalahkan ego saya dan mencoba untuk menjalin hubungan baik dengan klien. Mungkin terdengar klise, namun apa salahnya mencoba menjadikan arsitektur sebagai sarana untuk berbagi kebahagiaan, karena mungkin saat klien bahagia di saat itulah saya juga dapat merasakan kebahagiaan.

Jumat, 19 Juli 2013

Merawat, Menghidupi Mimpi Lewat Bambu



Siapa tidak tahu bambu ? Saya yakin seluruh nusantara tahu apa itu bambu, karena pada dasarnya bambu selalu ada di tiap jengkal tanah air ini. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita mengenal bambu? Ya, bambu identik dengan material murah yang murahan dan tidak awet. Persepsi inilah yang kini melekat di sebagian besar masyarakat kita.
Di sisi lain, kini material bambu mulai diminati beberapa kalangan praktisi arsitektur dan interior. Seiring berkembangnya teknologi, maka ada banyak kesempatan dan teknologi pengawetan (yang kini mulai bermunculan obat awetan herbal) dan finishing bambu.
Sebagai lulusan jurusan arsitektur, saya ingin punya spesialisasi. Pilihan saya jatuh pada bambu. Kenapa bambu ? Karena bagi saya, bambu sangat luar biasa. Sifatnya lentur, bisa menyentuh seluruh golongan manusia dari yang katanya paling elit sampai yang paling bawah. Jika bicara permasalahan sosial, bambu bisa jadi solusi khususnya saat terjadi bencana. Cepat, mudah ditemui dan tentu saja murah menjadi alasannya. Lain lagi tentang permasalahan green, bambu bisa menjadi alternatif pengganti kayu yang keberadaannya banyak dipenuhi lewat illegal logging. Terakhir, tentang permasalahan tren ke depan. Dengan keunikan dan estetika yang bisa dibentuk lewat bambu, saya yakin beberapa tahun ke depan pasar bangunan atau furnitur bambu akan meningkat. Hanya masalah waktu dan pemahaman yang tepat akan bambu yang akan menjadikan khalayak umum tidak ragu menggunakan bambu.  
Cukup sudah berfilosofinya, semuanya hanya akan tinggal mimpi jika tidak segera diperjuangkan. Mimpi ini harus dirawat, caranya dengan terus berlatih dan bersahabat dengan bambu. Desain ini saya beri judul ‘Exhibition Hall in My Mind’ karena memang desain ini baru terbangun di angan saya. Desainnya terinspirasi dari bayak karya arsitektur yang telah terbangun tapi bukan dengan material bambu. Desainnya yang cukup tertutup dimaksudkan agar pencahayaan yang dramatis dapat diwujudkan lewat desain lorong skylight.

Konsep desainnya sederhana, lewat exhibition hall yang cukup tertutup, tempat ini ingin menyampaikan bahwa seni yang keindahan tidak terbatas itu ternyata tetap memiliki batas. Hanya keindahan dari Tuhan yang tanpa batas yang dimunculkan lewat turunnya cahaya dari atas. Saat saya membayangkan berada di tengah-tengah ruangan tersebut dan menengadah ke atas, rasanya tidak hanya keindahan yang saya rasakan tapi juga kesejukan dan kedamaian.


Ada satu kekhawatiran saya tentang material yang satu ini. Jika suatu saat ada yang berpendapat : “mas, saya pengen desain yang permanen. Kalo dengan bambu kan cuma sementara saja, umurnya ngga lama.” Kelak saya harap dapat dengan berani menjawabnya seperti ini “bukankah memang semua yang diciptakan manusia itu sifatnya hanya sementara? Kita saja yang ciptaan Tuhan hanya hidup sementara kok, apalagi yang buatan manusia. Bangunan beton pun punya usia, begitu juga dengan bambu. Toh, jika di desain dan dirawat dengan benar, bangunan bambu dapat bertahan lama. Lihat saja karya nenek moyang kita. Kalau mencari yang permanen, bukankah yang abadi dari manusia adalah jasanya dan semangat yang akan terus dikenang dan dihidupi generasi penerusnya begitu juga dengan karya arsitektural akan tetap terkenang lewat pengaruh dan dampak positifnya.”
Bermimpi memang menyenangkan, tapi saya tahu ini semua tidak mudah dilakukan yang di sisi lain berarti tidak mustahil untuk diwujudkan.

Sabtu, 20 April 2013

Panti Sosial Bina Karya ;Psikologi arsitektur sebagai upaya rehumanisasi

Judul di atas merupakan judul dari karya Tugas Akhir saya. Karya ini menjadi salah satu yang paling menarik dari semua desain yang pernah saya kerjakan. Mengapa ? Karena di karya inilah segala ide, pemikiran hingga keprihatinan dapat saya tuangkan dan didengar oleh orang lain.

Ide ini merupakan curahan keprihatinan saya akan dunia arsitektur yang semakin hari hanya semakin mengedepankan estetika bentuk. Memang tidak salah, tapi bagi saya ini sangat tidak relevan dengan keadaan masyarakat negara ini yang memiliki permasalahan kompleks. 

Arsitektur milik semua kalangan. Semua berhak merasakan hasil kreatifitas arsitek dalam berkarya. Di balik gegap gempita dunia arsitektur, karya ini pun menjadi sarana bagi saya untuk mencoba mengangkat peran arsitektur dalam membantu pemecahan permasalahan sosial.

Arsitektur sangat erat kaitannya dengan manusia. Psikologi arsitektur merupakan aspek yang sangat mendasar dalam desain perancangan. Namun, aspek ini nampaknya mulai dilupakan dalam proses desain. Siapa manusia yang terlibat di dalamnya, kecenderungan perilakunya hingga suasana yang ingin dicapai kini hanya dianggap sebagai angin lalu. 

Ada baiknya kita menengok kembali posisi arsitektur kaitannya dengan manusia dan fitrahnya.Jangan sampai kita terbuai dan larut dalam pusaran estetika yang belum tentu dapat memberikan 'roh' dalam sebuah karya arsitektur. Mari berkreasi dengan pikiran dan hati !










Selasa, 26 Februari 2013

Panggung Kawungan

50 besar Rumah Tropis Indonesia ARBBI 2012
Tim S.A.M : Tobias Kea Suksmalana, Roby Aria Samudra, Michael Priambada

Arsitektur tradisional telah mati dan setiap generasi memiliki hak untuk berbudaya. Sehingga tidak ada relevansinya jika mendesain di zaman sekarang namun masih terpaku pada bentuk-bentuk tradisional. Yang perlu diwarisi dan dilestarikan adalah nilai-nilai tradisional yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk arsitektur tradisional.

Konsep besar desain terbentuk dengan mengadopsi intisari unsur-unsur lokal dengan ruang lingkup budaya di Indonesia. Aplikasinya adalah dengan mencoba mentransformasikan rumah tropis tradisional ke arah relevansi zaman yang kontemporer.

 Perspektif

Beberapa aspek kenusantaraan yang dipetik adalah sebagai berikut :
  1. Kemiringan atap yang curam dalam beberapa rumah adat di Sumatera, hingga Papua untuk menanggapi curah hujan tinggi di Indonesia.
  2. Orientasi rumah Joglo di Yogyakarta yang menghadap ke Selatan merupakan ekspresi adat setempat dalam menanggapi iklim tropis Indonesia dengan membuka arah pendopo pada arah dimana angin kering non-uap air yang berhembus dari selatan ke utara.
  3. Prinsip rumah panggung dengan maksud memberikan ruang peresapan air yang lebih juga coba diangkat sebagai solusi dari masalah koefisien dasar bangunan dan kontrol udara untuk ruang di atasnya menggunakan air kolam.
  4. Kontekstualitas dengan site terpilih juga menjadi satu upaya dalam pencarian jati diri rumah tropis Indonesia, yaitu ‘batik Kawung’ Jogja sebagai elemen detail arsitekturalnya.

 Perspektif interior

Well, bagus atau tidaknya hasil akhir sangatlah subyekif. Tapi bukan itu yang terpenting. Di tengah era globalisasi dan serangan style yang konon katanya disebut 'minimalis modern tropis dan segala tetek bengeknya', ini hanyalah satu usaha kecil dari usaha-usaha lain dalam pencarian jati diri arsitektur Indonesia  masa kini. Ada yang tidak setuju ? Silahkan saja, ini jaman serba bebas kok.

Minggu, 24 Februari 2013

Rumah Karangnongko



Tim S.A.M : Tobias Kea Suksmalana, Riesky Bayu Suryadi, Michael Priambada

Rumah ini terletak di daerah Karangnongko, Sleman, Yogyakarta. Proyek ini adalah proyek kesekian yang kami desain. Proses desain berlangsung cukup lama, lagi-lagi disebabkan oleh pencarian titik temu antara keinginan klien dengan kami sebagai perancang. 
              
Sketsa awal

Ide awal muncul dari hasil ngobrol dengan klien. Yang kami tangkap pertama kali, desain yang diinginkan adalah desain yang sederhana, menggunakan material alam dan ngga 'neko-neko'. Namun, setelah sketsa awal kami berikan, lagi-lagi kami belum tepat menafsirkan apa yang diinginkan klien. Proses pun berlanjut sampai beberapa kali revisi desain.



  Revisi 1

Sampai pada tahap ini, kami masih bisa mengeksplorasi ide desain sesuai ideologi kami. Namun, disaat kami mengira desain telah hampir disetujui, klien berubah pikiran dan menginginkan desain yang jauh berbeda dari yang telah dirancang. Awalnya kami keberatan untuk mengganti desain karena proses revisi telah terjadi beberapa kali, ditambah lagi desain yang diinginkan klien tidak sesuai dengan ideologi kami sebagai perancang. Namun, setelah melalui pertentangan batin yang cukup rumit, kami menyetujui untuk mengganti desain kami. Berikut desain final yang telah disetujui.

Dari proses desain ini, kami menyadari satu hal lain tentang 'nilai' berarsitektur yang tidak dapat dipelajari di bangku kuliah. Ada kalanya yang terpenting dalam berarsitektur bukanlah sekedar mewujudkan ideologi perancang, lebih dari itu, berarsitektur bisa menjadi sarana untuk memberi kebahagiaan bagi klien dengan cara mewujudkan rumah impiannya dalam bentuk desain.

"Arsitek itu ibarat bidan yang
membantu persalinan seorang ibu.
Sang anak tetaplah milik 
sang ibu, bukan bidan."
-Eko Prawoto-

Kamis, 14 Februari 2013

Mimpi pagi buta


Suatu ketika, saat subuh pun masih enggan menggema, saya harus terbangun dari istirahat malam. Mata ini enggan terpejam kembali. Di keheningan pagi yang bersih dari bisingnya kendaraan bermotor, angan ini mulai bergerilya. Mimpi, ide, gagasan hingga keprihatinan mengalir tanpa henti. Di saat hening inilah, saya dapat bertemu dengan murninya pikiran saya. Tidak ada intervensi, tidak ada larangan, hanya ada pikiran saya yang merdeka ! 

Lahir 22 Juli 1990, tepatnya di kota Yogyakarta yang konon berhati nyaman. Selama lebih dari 22 tahun menetap di Jogja, berturut-turut mengenyam pendidikan di SD Kanisius Kalasan, SMP Pangudi Luhur 1, SMA Kolese De Britto, dan terakhir Jurusan Arsitektur UGM angkatan 2008. Kini mulai terjun ke dunia arsitektur (yang sebenarnya) bersama S.A.M - Studio Arsitektur Mandala, sekumpulan anak muda yang haus pengalaman berkarya.

Saya bukan siapa-siapa, hanya manusia yang mencoba menjadi manusia seutuhnya.
Salam kenal, mari berbagi.

tobias.kea@gmail.com
tobias_kea@studio-mandala.com